Kamis, 15 Desember 2011

Fenomenologi Filsafat

Pembahasan


A. Hakekat Fenomenologi

Fenomenologi (Inggris: Phenomenology) berasal dari bahasa Yunani phainomenon dan logos. Phainomenon berarti tampak dan phainen berarti memperlihatkan. Sedangkan logos berarti kata, ucapan, rasio, pertimbangan. Dengan demikian, fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran kita.

Sebagai sebuah arah baru dalam filsafat, fenomenologi dimulai oleh Edmund Husserl (1859 – 1938), untuk mematok suatu dasar yang tak dapat dibantah, ia memakai apa yang disebutnya metode fenomenologis. Ia kemudian dikenal sebagai tokoh besar dalam mengembangkan fenomenologi. Namun istilah fenomenologi itu sendiri sudah ada sebelum Husserl. Istilah fenomenologi secara filosofis pertama kali dipakai oleh J.H. Lambert (1764). Dia memasukkan dalam kebenaran (alethiologia), ajaran mengenai gejala (fenomenologia). Maksudnya adalah menemukan sebab-sebab subjektif dan objektif ciri-ciri bayangan objek pengalaman inderawi (fenomen).

Immanuel Kant memakai istilah fenomenologi dalam karyanya Prinsip-Prinsip Pertama Metafisika (1786). Maksud Kant adalah untuk menjelaskan kaitan antara konsep fisik gerakan dan kategori modalitas, dengan mempelajari ciri-ciri dalam relasi umum dan representasi, yakni fenomena indera-indera lahiriah.

Hegel (1807) memperluas pengertian fenomenologi dengan merumuskannya sebagai ilmu mengenai pengalaman kesadaran, yakni suatu pemaparan dialektis perjalanan kesadaran kodrati menuju kepada pengetahuan yang sebenarnya. Fenomenologi menunjukkan proses menjadi ilmu pengetahuan pada umumnya dan kemampuan mengetahui sebagai perjalanan jiwa lewat bentuk-bentuk atau gambaran kesadaran yang bertahap untuk sampai kepada pengetahuan mutlak. Bagi Hegel, fenomena tidak lain merupakan penampakkan atau kegejalaan dari pengetahuan inderawi: fenomena-fenomena merupakan manifestasi konkret dan historis dari perkembangan pikiran manusia.

Edmund Husserl memahami fenomenologi sebagai suatu analisis deskriptif serta introspektif mengenai kedalaman dari semua bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Perhatian filsafat, menurutnya, hendaknya difokuskan pada penyelidikan tentang Labenswelt (dunia kehidupan) atau Erlebnisse (kehidupan subjektif dan batiniah). Penyelidikan ini hendaknya menekankan watak intensional kesadaran, dan tanpa mengandaikan praduga-praduga konseptual dari ilmu-ilmu empiris.

Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga kita sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Kita harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, kita harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni.

Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran, sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang kita kenal.

Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).

Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial.

Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif. Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna dibalik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti.

Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.

B. Fenomenologi Sebagai Metode Ilmu

Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena dalam kemurniannya. Fenomena disini dipahami sebagai segala sesuatu yang dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya tanpa prasangka sama sekali. Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: "Zu den Sachen Selbst" (kembali kepada bendanya sendiri).

Tugas utama fenomenologi menurut Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas. Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan keberadaan manusia”. Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala sesuatu”.

Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision. Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat. Untuk itu, Husserl menekankan satu hal penting: Penundaan keputusan. Keputusan harus ditunda (epoche) atau dikurung dulu dalam kaitan dengan status atau referensi ontologis atau eksistensial objek kesadaran.

Selanjutnya, menurut Husserl, epoche memiliki empat macam, yaitu :
1. Method of historical bracketing; metode yang mengesampingkan aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adapt, agama maupun ilmu pengetahuan.

2. Method of existensional bracketing; meninggalkan atau abstain terhadap semua sikap keputusan atau sikap diam dan menunda.

3. Method of transcendental reduction; mengolah data yang kita sadari menjadi gejala yang transcendental dalam kesadaran murni.

4. Method of eidetic reduction; mencari esensi fakta, semacam menjadikan fakta-fakta tentang realitas menjadi esensi atau intisari realitas itu.

Dengan menerapkan empat metode epoche tersebut seseorang akan sampai pada hakikat fenomena dari realitas yang dia amati.

C. Kontribusi Fenomenologi Terhadap Dunia Ilmu Pengetahuan

Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.

Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt ) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik, yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya 'matematisasi alam' dimana alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia ke formula-formula impersonal.

Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.

Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia, yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya. Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna. Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.

Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’ yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’ kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.

Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi, yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.

D. Kritik Terhadap Fenomenologi

Sebagai suatu metode keilmuan, fenomenologi dapat mendeskripsikan fenomena sebagaimana adanya dengan tidak memanipulasi data. Aneka macam teori dan pandangan yang pernah kita terima sebelumnya dalam kehidupan sehari-hari, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan dikesampingkan untuk mengungkap pengetahuan atau kebenaran yang benar-benar objektif.

Selain itu, fenomenologi memandang objek kajiannya sebagai kebulatan yang utuh, tidak terpisah dari objek lainnya. Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh mengenai objek yang diamati. Hal ini menjadi suatu kelebihan pendekatan fenomenologi, sehingga banyak dipakai oleh ilmuwan-ilmuwan dewasa ini, terutama ilmuwan sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.

Dibalik kelebihan-kelebihannya, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput dari berbagai kelemahan. Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama, ataupun ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang absurd. Sebab fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value-free), tetapi bermuatan nilai (value-bound). Hal ini dipertegas oleh Derrida, yang menyatakan bahwa tidak ada penelitian yang tidak mempertimbangkan implikasi filosofis status pengetahuan. Kita tidak dapat lagi menegaskan objektivitas atau penelitian bebas nilai, tetapi harus sepenuhnya mengaku sebagai hal yang ditafsirkan secara subjektif dan oleh karenanya status seluruh pengetahuan adalah sementara dan relatif. Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis tidak pernah dapat terwujud.

Selanjutnya, fenomenologi memberikan peran terhadap subjek untuk ikut terlibat dalam objek yang diamati, sehingga jarak antara subjek dan objek yang diamati kabur atau tidak jelas. Dengan demikian, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan cenderung subjektif, yang hanya berlaku pada kasus tertentu, situasi dan kondisi tertentu, serta dalam waktu tertentu. Dengan ungkapan lain, pengetahuan atau kebenaran yang dihasilkan tidak dapat digenaralisasi.

Penutup

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa fenomenologi merupakan suatu metode analisa juga sebagai aliran filsafat, yang berusaha memahami realitas sebagaimana adanya dalam kemurniannya. Terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, fenomenologi telah memberikan kontribusi yang berharga bagi dunia ilmu pengetahuan. Ia telah mengatasi krisis metodologi ilmu pengetahuan, dengan mengembalikan peran subjek yang selama ini dikesampingkan oleh paradigma positivistik – saintistik.

Fenomenologi berusaha mendekati objek kajiannya secara kritis serta pengamatan yang cermat, dengan tidak berprasangka oleh konsepsi-konsepsi manapun sebelumnya. Oleh karena itu, oleh kaum fenomenolog, fenomenologi dipandang sebagai rigorous science (ilmu yang ketat). Hal ini tampaknya sejalan dengan 'prinsip' ilmu pengetahuan, sebagaimana dinyatakan J.B Connant, yang dikutip oleh Moh. Muslih, bahwa: "The scientific way of thinking requires the habit of facing reality quite unprejudiced by and any earlier conceptions. Accurate observation and dependence upon experiments are guiding principles."

DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral, 2001, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: komunitas Bambu.

Bagus, Lorens, 1996, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia.

Connolly, Peter, (Ed.), 2002, Approaches to the Study of Religion, Terj. Imam Khoiri, Aneka Pendekan Studi Agama, Yogyakarta: LkiS.

Delgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ghazali, Adeng Muchtar, 2005, Ilmu Studi Agama, Bandung: Pustaka Setia.

Kasiram, Moh., 2003, Strategi Penelitian Tesis Program Magister by Research, Malang: Program Pascasarjana UIIS Malang.

Muslih, Moh., 2005, Filsafat Ilmu: Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar.

Sills, David L., (Ed.), 1968, International Encyclopedia of the Social Sciences, London: Crowell Collier & Macmillan, Inc.

Sutrisno, FX. Mudji , dan F. Budi Hardiman, (Eds.), 1992, Para Filsuf Penentu Gerak Zaman, Yogyakarta: Kanisius.


Rabu, 14 Desember 2011

Bacaan Isti'adzah


Isti'adzah dilakukan sebelum membaca Alquran guna mengusir godaan setan. Menurut mereka, ayat yang berbunyi,

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu
(yang artinya) "Jika kamu hendak membaca Alquran, maka hendaklah kamu minta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk," artinya jika kamu hendak membaca. Sebagaimana firman-Nya, (yang artinya) "Jika kamu hendak mendirikan salat, maka basuhlah wajah dari kedua tangnmu." (Al-Maidah: 6),

Penafsiran seperti itu didasarkan pada beberapa hadis dari Rasulullah saw. Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, katanya, jika Rasulullah saw hendak mendirikan salat malam, maka beliau membuka salatnya dan bertakbir seraya mengucapkan, "Subhaanaka Allaahumma wabihamdika wa tabaa raka....... (Maha Suci Engkau, ya Allah, dan puji bagi-Mu. Maha Agung nama-Mu dan Maha Tinggi kemuliaan-Mu. Tidak ada ilah yang haq melainkan Engkau). Kemudian beliau mengucapkan, "Laa ilaha illallaah" (tidak ada ilah yang haq kecuali Allah) sebanyak tiga kali. Setelah itu beliau mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terkutuk, dari godaan, tipuan, dan hembusannya."

Al-Bukhari meriwayatkan dari Sulaiman bin Shurad ra katanya, "Ada dua orang yang saling mencela di hadapan Rasulullah saw, sedang kami duduk di hadapan beliau. Salah seorang dari keduanya mencela lainnya dalam keadaan marah dengan wajah yang merah padam. Maka Rasulullah saw bersabda, 'Sesungguhnya aku akan mengajarkan suatu kalimat yang jika ia mengucapkannya, niscaya akan hilang semua yang dirasakannya itu. Jika ia mengucapkan, 'A'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi'."

Menurut Jumhur Ulamaada beberapa kreteria tentang membaca isti’adzah diantaranya :
  Jumhurul ulama berpendapat bahwa isti'adzah itu sunnah hukumnya dan bukan suatu kewajiban, sehingga berdoa bagi orang yang meninggalkannya. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwasannya ia tidak membaca ta'awudz dalam mengerjakan salat wajib.
  Dalam kitab al-Imla', Imam asy-Syafi'i mengatakan, "Dianjurkan membaca ta'awudz dengan jahr, tetapi jika dibaca dengan sirri juga tidak apa-apa." Sedangkan dalam kitab al-Umm, beliau mengatakan, diberikan pilihan, boleh membaca ta'awudz, boleh juga tidak. Dan jika orang yang memohon perlindungan itu membaca a'uudzubillaahiminasysyaithoonirrajiimi, maka cukuplah baginya.
  Menurut Abu Hanifah dan Muhammad, ta'awudz itu dibaca di dalam salat untuk membaca Alquran. Sedangkan Abu Yususf berpendapat, bahwa ta'awudz itu justru dibaca untuk salat.
Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat sunnah membaca ta’awudz secara sirr (suara pelan) di awal setiap raka’at sebelum membaca al-Fatihah,. Kemudian membaca basmalah menurut Hanafiyah dan Hanabilah, dan jahr (suara keras) dalam shalat jahriyyah menurut Syafi’iyah. Para fuqaha yang mensunnahkan ta’awudz berdalil dengan firman Allah ta’ala:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْءَانَ فَاسْتَعِذْ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَـٰنِ الرَّجِيْمِ

Artinya: “Apabila kalian membaca Al-Qur’an, hendaklah kalian meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (TQS. An-Nahl [16]: 98)

1. Menurut ulama Malikiyah, membaca ta’awudz hukumnya jaiz (boleh) dalam shalat nafilah dan makruh dalam shalat fardhu.

2. Secara umum ulama dari kalangan Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menyatakan bahwa ta’awudz dibaca sebelum al-Fatihah, sedangkan Abu Yusuf (ulama Hanafiyah) menyatakan bahwa ta’awudz dibaca sebelum doa istiftah karena ta’awudz merupakan bacaan untuk menghilangkan waswas di dalam shalat secara mutlak.

3. Tentang bacaan ta’awudz apakah sirr (pelan) atau jahr (keras), terdapat 3 pendapat dalam hal ini. Pendapat pertama menyatakan disunnahkan sirr, ini adalah pendapat Hanafiyah, Hanabilah kecuali Ibn Qudamah, Malikiyah dalam salah satu pendapat mereka, dan sebagian pendapat Syafi’iyah. Pendapat kedua menyatakan disunnahkan jahr, ini adalah pendapat Malikiyah sebagaimana di dalam al-Mudawwanah dan sebagian Syafi’iyah. Pendapat ketiga menyatakan boleh memilih apakah membaca sirr atau jahr, ini adalah pendapat Syafi’iyah sebagaimana termuat di dalam al-Umm bahwa Ibnu Umar berta’awudz secara sirr sedangkan Abu Hurairah men-jahr-kannya.

Demikian penjelasan tentang hal ini. Silakan Anda mengikuti pendapat yang terkuat.

Muara Sanad Al Qur'an & Jaringan Pesantren Di Nusantara


Ratusan ribu majelis pengajaran Al-Quran tersebar di seluruh penjuru nusantara. Sebagian besar di antaranya terlembagakan dalam pesantren-pesantren Al-Quran yang saling berkaitan dalam jejaring guru-murid.

Membaca Al-Quran tentu saja amalan yang sangat utama, apalagi di bulan Ramadhan yang merupakan bulan diturunkannya Al-Quran. Selain menjadi menambah perbendaharaan pahala kita, membaca Al-Quran juga menjadi hiburan batiniah tersendiri yang sangat mengasyikkan. Bacaan ayat-ayat suci yang mengalir lancar dari bibir seakan mengantarkan perbincangan kita dengan sang khaliq.

Namun sayangnya, seiring perkembangan zaman, ketika pengajian Al-Quran di kota besar tak lagi sesemarak dulu, lancar dan fasih membaca Al-Quran bukan lagi keterampilan yang mudah ditemukan pada generasi muda Islam. Bahkan maraknya pertumbuhan Taman Pendidikan Al-Quran dan berbagai metode pengajaran kilat Al-Quran tak mampu mengimbangi derasnya gelombang modernisasi dan westernisasi budaya.

Mempelajari Al-Quran –termasuk cara membacanya-- memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Untuk mendapatkan hasil yang diharapkan, dibutuhkan seorang guru khusus yang benar-benar mempunyai kemampuan dan otoritas (ijazah) pengajaran Al-Quran. Sebab proses pembelajaran Al-Quran menyaratkan adanya talaqqi (pertemuan guru – murid secara langsung) dalam prosesnya.

Sebab para ulama ahlul Quran meyakini, satu-satunya orang yang bisa membaca Al-Quran dengan fasih dan memahami isinya dengan benar adalah Rasulullah SAW yang mendapat pengajaran langsung dari malaikat Jibril. Sementara tingkat kebenaran bacaan orang-orang selain Rasulullah paling bagus hanya mendekati kefasihan beliau saja. Itu pun jumlahnya tidak banyak. Pengakuan akan ketepatan cara membaca Al-Quran tersebut harus mendapat pengakuan dari Rasulullah SAW.

Itulah sebabnya, meski pada zaman Rasulullah banyak sahabat yang hafal Al-Quran, tetapi hanya beberapa orang saja yang mendapat mandat untuk mengajarkan Al-Quran. Artinya hanya mereka inilah yang bacaan Al-Qurannya diakui nyaris sempurna sehingga layak mengajari orang lain.

Demikian pula pada generasi berikutnya yang belajar langsung kepada Sahabat Nabi. Meskipun jumlah murid mereka dari kalangan tabiin cukup banyak, namun hanya sebagian kecil saja yang diberi otoritas (ijazah) untuk mengajarkan cara membaca Al-Quran. Demikian seterusnya pada generasi tabiut tabiin dan generasi-generasi sesudahnya hingga zaman modern yang terus menjaga ketersambungan silsilah sanadnya. Mereka inilah yang biasa disebut ulama ahlul Quran.

Bagaimana dengan murid-murid lain yang juga menyelesaikan pelajarannya, namun tidak sampai mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Tentu saja mereka tetap boleh menularkan ilmunya, meski tentu nilai keberkahannya tidak sama dengan yang mendapat ijazah pengajaran Al-Quran. Paling tidak, dari mereka bisa dipelajari cara membaca Al-Quran dengan benar, karena mereka juga mendapatkannya dari guru-guru yang memiliki ijazah pengajaran.

Muara Sanad Al-Quran
Di Indonesia sendiri saat ini berdiri puluhan ribu tempat pengajaran Al-Quran. Namun hanya sebagian saja yang benar-benar memiliki ijazah pengajaran Al-Quran. Sebagian lagi tidak memiliki ijazah, namun pernah belajar kepada ulama yang memiliki otoritas pengajaran Al-Quran. Ada juga yang dengan niat baik, membuka pengajaran Al-Quran, meski tidak memiliki ijazah dan tidak juga pernah berguru kepada orang yang mempunyai ijazah.

Tempat-tempat pengajaran Al-Quran, dan jaringannya, yang memiliki ijazah sanad Al-Quran biasanya berupa pesantren tahfizhul Quran (penghafalan Al-Quran). Dan uniknya hampir semua pesantren Al-Quran tersebut saling memiliki keterkaitan guru murid. Sebab menurut sejarahnya, seluruh tradisi penghafalan Al-Quran di pesantren-pesantren tradisional di nusantara ini hanya memang bermuara kepada beberapa nama.

K.H. Drs. Muntaha Azhari, pembantu rektor III Institut Perguruan Tinggi Ilmu-ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta, yang pernah melakukan penelitian dalam bidang tersebut menyebutkan nama Mbah Kiai Moenauwir Krapyak (Yogyakarta), Syaikh Dimyathi Tremas (Pacitan – Jawa Timur) dan Syaikh As’ad Makassar sebagai tiga dari beberapa tokoh pembawa tradisi penghafalan Al-Quran sekaligus memiliki sanad bersambung hingga Rasulullah. Dari ulama ahlul Quran tersebutlah kebanyakan sanad pesantren Al-Quran modern bermuara.

Jika anda berminat belajar atau hendak merekomendasikan tempat belajar membaca dan menghafal Al-Quran yang memiliki silsilah bersambung hingga Rasululah SAW (meski tidak semuanya memiliki ijazah pengajaran), berikut ini ulasan singkat tempat-tempat tersebut.

Membahas pesantren Al-Quran modern tentu tidak lepas dari nama pesantren Krapyak, Yogyakarta. Sebab dari pesantren yang didirikan Mbah Moenauwir di awal abad 20 ini telah lahir banyak sekali pesantren alumni. Mbah Moenawwir mendalami pengajian Al-Qurannya selama enam belas tahun di di Makkah. Beberapa gurunya yang mengajarkan tahfizh, tafsir dan qiraat sab’ah di Makkah antara lain Syaikh Abdullah Sanqoro, Syaikh Sarbini, Syaikh Mukri, Syaikh Ibrahim Huzaimi, Syaikh Manshur, Syaikh Abdus Syakur dan Syaikh Musthofa.

Karena kecemerlangannya dalam mengaji, guru qiraat sab’ahnya, Syaikh Yusuf Hajar, memberinya ijazah sanad qiraah yang bersambung hingga Rasulullah: sesuatu yang sangat jarang didapatkan murid-murid Syaikh Yusuf karena sangat sulit persyaratannya. Dalam silsilah tersebut Kiai Moenauwir berada pada urutan ketiga puluh lima. Ada juga sanad lain yang diperolehnya dari Syaikh Abdul Karim bin Umar Al-Badri Ad-Dimyathi, yang sedikit lebih pendek.

Pesantren yang kini memiliki nama Al-Munawwir ini berada di bagian selatan pusat kota Yogyakarta. Saat ini pesantren yang telah membuka berbagai unit pendidikan formal, mulai tingkat taman kanak-kanak hingga ma’had ali (pesantren luhur), itu diasuh oleh generasi kedua : K.H. Zainal Abidin Munawwir, K.H Ahmad Warson (penyusun kamus Al-Munawwir), K.H. Attabik Ali, K.H. Najib (pengasuh tahfzhul Quran) dan beberapa kiai lain.

Dekat Sunan Kudus
Masih di Yogyakarta, ada juga beberapa pesantren Al-Quran yang merupakan pesantren alumni Krapyak. Yang paling terkenal adalah Pondok Pesantren Sunan Pandan Aran, yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Mufid Mas’ud. Pesantren yang berada di kilometer 12 jalan raya Kaliurang ini kini diasuh oleh putra-putri Mbah Mufid yang dipimpin oleh K.H. Mu’tashim Mufid.

Sementara di Jawa Tengah, jumlah pesantren Al-Quran lebih banyak lagi. Di kota Solo, misalnya, terdapat Pesantren Al-Muayyad yang diasuh oleh K.H. Abdul Rozaq Shofawi dan Pesantren Al-Qurani yang diasuh oleh K.H. Abdul Karim. Kedua pesantren yang sama-sama berlokasi di kampung Mangkuyudan, Purwosari, Laweyan Solo, itu memiliki sanad yang berbeda. Pesantren Al-Muayyad memiliki sanad dari Krapyak, Yogyakarta, sedangkan Pesantren Al-Qurani dari Tremas Pacitan.

Pesantren Al-Quran besar lain di Jawa Tengah terdapat di kota kretek, Kudus. Namanya Pesantren Yanbuul Quran yang berdiri di Kajeksan, tak jauh dari makam Sunan Kudus. Pesantren yang didirkan oleh al-maghfurlah K.H. Arwani Amin (alumnus Krapyak) itu kini diasuh oleh K.H. Ulil Albab dan K.H. Ulin Nuha itu juga menjadi salah satu pusat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Tak jauh dari Kudus, di Demak juga berdiri beberapa pesantren Al-Quran. Yang paling terkenal adalah Pesantren Bustanul ‘Usyaqil Quran yang didirikan oleh K.H. Muhammad bin Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Desa Betengan. Kini Pesantren Betengan asuh oleh generasi kedua, K.H. Muhammad Harir. Ada juga Pesantren Nurul Quran, Sayung, yang diasuh oleh K.H. Masroni. Selain mengasuh pesantren Al-Quran, Kiai Masroni juga dikenal sebagai badal mursyid dalam Thariqah Syadziliyyah yang diasuh oleh Habib Luthfi Bin Yahya, Pekalongan.

Sementara di timur Kudus, tepatnya di daerah Kajen, Pati, berdiri Pesantren Mathali’ul Huda yang diasuh oleh K.H. Nafi’ Abdillah dan adik-adiknya. Pesantren peninggalan Mbah Kiai Abdullah Salam itu juga dikenal sebagai tempat pengajaran Thariqah Naqsyabandiyyah Khalidiyyah.

Selain itu masih ada lagi Pesantren Al-Asy’ariyyah Kalibeber di Wonosobo. Pesantren yang didirikan oleh almarhum K.H. Muntaha dan kini diasuh oleh K.H. Ahmad Faqih Muntaha itu juga membuka pendidikan umum mulai taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Pesantren Al-Quran lain yang sangat terkenal adalah Pesantren Benda Bumiayu yang didirikan oleh K.H. Suhaimi (murid Mbah Munawwir, Krapyak).

Di luar pesantren, pengajaran Al-Quran juga digelar Masjid Kauman Semarang. Pengajian itu awalnya diasuh oleh al-maghfur lah Kiai Abdullah Umar, murid mbah Munawwir Krapyak, Yogyakarta. Sepeninggal Mbah Abdullah Umar, pengajian itu diteruskan oleh rekan dan murid-muridnya.

Sementara di Jawa Barat pengajaran Al-Quran berpusat di beberapa kota. Yang paling terkenal adalah Cirebon yang mempunyai tiga pesantren Al-Quran besar dan beberapa pesantren Al-Quran kecil. Yang terbesar adalah Pesantren Al-Quran Kempek (diasuh oleh K.H. Umar Sholeh), Pesantren Gedongan diasuh oleh K.H. Amin Siradj (paman K.H. Said Aqil Siradj) dan Pesantren Tahfzhul Akhlaq di Winong yang diasuh K.H. Rohibulloh.

Beasiswa Penghafal Al-Quran
Selain Cirebon, di Indramayu juga terdapat pesantren Al-Quran yang sedang naik daun, yaitu Pesantren Tarbiyatul Wildan yang diasuh K.H. Mamduh. Pesantren tahfizhul Quran ini terkenal karena membuka program tahfizh untuk anak-anak. Pola pengajaran pesantren ini mengadopsi sistem pendidikan di pesantren induknya, Pesantren Tarbiyatul Wildan Sedayu, Gresik, Jawa Timur.

Selain dua kota tersebut pengajaran tahfizhul Quran juga terdapat di Manonjaya (Tasikmalaya), Pesantren Darit Tafsir Pagentongan, Bogor, dan Pesantren Al-Falah Bandung yang diasuh Ajengan Syahid.

Sedangkan di Provinsi Banten, pesantren Al-Quran paling terkenal adalah Pesantren Cidahu, Cadasari, Pandeglang, yang didirikan oleh almarhum Abuya Dimyathi. Ada juga Pesantren Cikaduen, Banten, yang merupakan peninggalan K.H. Damanhuri.

Dan yang paling gress adalah Pesantren Darul Quran Bulaksantri Karangtengah Tangerang, yang diasuh oleh muballigh kondang Ustadz Yusuf Mansur. Untuk menguatkan program penghafalan Al-Qurannya, pesantren yang terkenal dengan program beasiswa pembibitan penghafal Al-Qurannya mendatangkan pengajar-pengajar Al-Quran dari beberapa pesantren Al-Quran terkenal di Jawa Tengah, seperti Yanbu’ul Quran Kudus dan Usyaqil Quran Betengen, Demak.

Tak kalah dengan provinsi lainnya di pulau Jawa, provinsi Jawa Timur yang dikenal sebagai gudangnya pesantren besar juga memiliki ratusan pesantren Al-Quran. Beberapa di antaranya sangat terkenal dan menjadi tujuan santri Al-Quran dari berbagai daerah untuk mengaji, baik yang baru mulai menghafal maupun yang hendak tabarukan.

Selain Pesantren Tremas Pacitan yang sebagaimana Krapyak juga menjadi muara silsilah sanad Pesantren Al-Quran, pengajian tahfizhul Quran terkenal tersebar di Gresik, Jombang, Kediri, dan Langitan. Uniknya beberapa pesantren Al-Quran tersebut merupakan bagian atau unit dari pesantren-pesantren kitab terkenal seperti Ploso, Lirboyo, Langitan dan Tebuireng.

Di Jombang, misalnya, ada pesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng diasuh oleh K.H. Musta'in Syafi'i, Pesantren Nurul Quran Bendungrejo (diasuh K.H. Jumail Ruslan), dan Pesantren Nurul Jadid Plandi (diasuh K.H. Abdul Afif). Sementara di Kediri program penghafalan Al-Quran terdapat di Madrasah Murottilil Quran (MMQ) yang diasuh K.H. Abdullah Kafa bih Machrus dan Pesantren Darussalam yang diasuh K.H. Maftuh Bashtul Birri. Keduanya berada dalam lingkungan Pesantren Lirboyo. Ada juga Pesantren Maunahsari, Bandar Kidul, yang didirikan oleh K.H. Mubasyyir Munzir.

Masih banyak lagi nama pesantren di Jawa Timur yang tidak akan cukup diceritakan di sini. Jika anda berminat mendapatkan informasinya, anda bisa menghubungi kantor cabang terdekat Jam’iyyatul Qurra wal Huffadz (JHQ) NU, organisasi sayap NU yang menaungi para qari dan qariah serta penghafal Al-Quran di Indonesia. (Kang Iftah, pernah dimuat di majalah Alkisah edisi 19, terbit Ramadhan 1429/2008)

Sejarah WAHABI Dan Pendirinya



Judul Buku: Sejarah  Berdarah Sekte Salafi Wahabi Penulis: Syaikh Idahram Penerbit: Pustaka Pesantren, Yogyakarta Terbit: Maret 2011 Tebal: 276 Halaman Peresensi: Nurcholish

Radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya dan ekonomi di dunia ini. tetapi pada masa pasca perang dingin, yang menjadi fokus penggunjingan di dunia ialah apa yang diistrilahkan dengan “radikalisme islam”. Isu sentral dalam penggunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “islam” yang menggunkan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka memperjuangkan dan mendirikan “negara Islam”.
Hakikat Islam sebagai agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, mulai meretas. Islam yang nampak kepermukaan bukanlah islam sebagai agama universal dan menginginkan adanya peramaian dunia, akan tetapi islam ekstrimis yang identik dengan kekerasan (terorisme). Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi; Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama` yang ditulis oleh Syaikh Idahram ini, menunjukkan bagaimana kelompok islam Wahabiyah turut andil adanya kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi.
 Sejarah Ringkas Muhammad Bin Abdul Wahhab

Sejarah Ringkasnya.
Muhamad Abdul Wahab adalah pembangun gerakan Wahabi. Beliau dilahirkan didesa ‘Iniyah di Najd tahun 1115 H dan wafat tahun1206 H dalam usia 91 tahun. Pada ketika itu daerah Hijaz , termasuk Mekah dan Medinah beraad dibawah kekuasaan Syarif-Syarif Mekah, di bawah naungan kerajaan Turki Othmaniah.
Ia belajar agama tingkat permulaan daripada bapanya , Abdul Wahab , seorang ulama’ Ahli Sunnah Wal-Jamaah. Maka memberikan nama “Wahabiah” pada gerakan Muhamad bin Abdul Wahab adalah sesuatu kekeliruan , keran Abdul Wahab ( bapanya) adalah ulama’ Ahli Sunnah , bukan berfahaman “Wahabiah”.
Juga seorang saudaranya bernama Sulaiman bin Abdul Wahab adalah seorang ulama’ Ahli Sunnah Wal-Jamaah juga , tidak menerima faham Wahabi.
Pada waktu remaja, Abdul Wahab pergi naik haji ke Mekah dan sampai ke Medinah menziarahi maqam Nabi Muhamad saw dan kembali ke Najd sesudah mengerjakan haji.
Dia datang lagi ke Mekah untuk melanjutkan pelajarannya.Dia tinggal di Mekah dan Medinah sebagai pelajar.
Pada kali kedua ini, dia tersandung pada kitab-kitab Ibni Taimiyyah, yang mengharamkan “Tawasul dan Istighatsah” , yang mengharamkan berpergian ziarah ke maqam-maqam walaupun maqam Nabi dan Wali-wali dan juga ia tercangkuk dengan pelajaran Ibni Taimiyyah tentang “Tuhan diatas” dan “Tuhan bersila” dan lain-lain sebagainya.
Maka menjadilah ia seorang ‘pemuja’ Ibni Taimiyyah dengan erti kata yang sebenar-benarnya bahkan lebih Taimiyyah dari Ibni Taimiyyah sendiri.
Tersebut dalam buku “Munjid” halaman 568 ertinya: Wahabiah adalah sebahagian dari firqah Islamiyah , di bangun oleh Muhamad bin Abdul Wahab (1702-1787). Lawannya menamakannya Wahabiah , tetapi pengikutnya menamakan gerakannya dengan nama “Muwahhidun”. Dalam Feqah mereka berpegang kepada madzhab Hambali disesuaikan dengan tafsiran Ibni Taimiyyah.
Keterangan “Munjid” ini tidak semuanya benar. Ulama’-ulama’ Wahabi itu tidak maraah kalau mereka diberi gelar “Wahabi” ; bahkan ada sebuah kitab mereka yang berjudul “ Al-Hidayatul Saniah Waltahfatul Wahabiatul–Najdiyah”.
Muhamad bin Abdul Wahab ‘terbuka matanya’ dan dia melihaaaat bahawa banyak sekali amal ibadat Ummat Islam di Medinah berlawanan dengan Sunnah Rasul menurut kacamata Taimiyyahnya , umpamanya berbundung-bundung ke Medinah menziareahi kubur Nabi Muhamad saw, kubur Saidina Hamzah di Uhud , kubur Siti Khatijah di Al-Mu’la dan lain-lain perkuburan. Ini semua adalah “ Bid’ah” katanya.
Dan dia paling tidak suka melihat seseorang berdo’a dihadapan maqam Nabi di Medinah menghadap kepada kubur Nabi , bukan menghadap ke Ka’abah. Ini juga “Syirik” katanya.
Kemudian ia dengar orang mengucapkan “Ya RasuluLLah” di hadapan maqam Nabi. Ini juga “Syirik” katanya.
Marah melihat itu semuanya maka ia pulang ke desa ‘Iniyah di Najd dan membuka pengajiannya dan langsung memfatwakan bahawa kepergian ziarah ke Maqam Nabi adalah ma’siat.Penduduk desanya tidak menerima fatwa ini dan dia diusir oleh penguasa desanya .
Kemudian dia pergi ke Basyrah, Iraq. Dia cuba pula mengeluarkan fatwa-fatwanya yang ganjil-gajil itu ; sehingga diusir lagi dari Basyrah.Dia bermaksud akan melanjutkan perjalanannya ke Baghdad dab Syria tetapi tidak punya wang ( Muqaddimah Kitab Kasyaful- Syubhat , karangan Muhamad bin Abdul Wahab, halaman 4).
Maka ia pergi ke Hasa berlindung kepada Punguasa Hasa , namanya Sheikh Abdullah bin Abdul Latif ; tetapi kemudian penguasa ini mengusirnya pula kerana tidak menyetujui pengajian-pengajian Muhamad bin Abdul Wahab ini.
Pendeknya kemana sahaja ia pergi akhirnya diusir akibat dari fatwa-fatwanya yang salah-salah , berlainan dari fatwa-fatwa ulama’ yang lazim ketika itu.Desanya sendiri , ‘Iniyah , Basyrah dan Hasa tidak menerimanya.
Abangnya sendiri bernama Sulaiman bin Abdul Wahab mengarang sebuah buku untuk menolak fatwa-fatwa Wahabi dari Muhamad bin Abdul Wahab. Buku itu bernama : “Al-Sawa ‘iqul- Muharrakah fil-ardhi ‘Alal-Wahabiah” ( Petir yang membakar untuk menolak faham Wahabiah).
Kemudian Muhamad bin Abd Wahab pindah ke sebuah negeri namanya “ Dar’iyah”. Raja Dar’iyah itu bernama Muhamad bin Sa’ud. Maka berjumpalah di Dar’iyah dua ‘Muhamad’ iaitu Muhamad bin Abdul Wahab dan Muhamad bin Sa’ud. Yang saling perlu memerlukan.
Muhamad bin Abdul Wahab memerlukan pertolongan seorang Penguasa yang dapat melindungi ‘da’wah’nya, kerana ia tidak tahan dikejar-kejar dan diburu-buru oleh penguasa-penguasa negeri yang didiaminya.
Sedang Muhamad bin Saud sebagai Penguasa di Ra’Iyah memerlukan pula seorang ulam’ yang dapat mengisi rakyatnya dengan pelajaran-pelajaran agama yang mampu memperkukuhkan kearajaannya.
Dari ketika itu bersatulah agama Wahabi dengan kekuasaan ‘Sa’udi’ atau ‘Al-Sa’ud’ atau ‘ Ibni Sa’ud’.

TAQLID, MAKALAH TAQLID


PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqlid [1]
Menurut bahasa, taqlid -bentuk masdar dari kata qallada berarti kalung yang dipakai/dikalungkan ke leher orang lain, atau seperti binatang yang akan dijadikan dam, dimana lehernya diberi kalung sebagai tanda, atau seperti kambing yang lehernya telah diikat dengan tali atau tambang yang dapat ditarik ke mana saja, tanpa disadari oleh kambing yang bersangkutan.
Analisa bahasa ini menunjukkan kepada kita seolah-olah seseorang yang telah bertaqlid kepada seorang mujtahid/imam telah memberi identitas diri dengan sebuah kalung di lehernya dan ia telah mengikat dirinya dengan pendapat mujtahid/imam tersebut.
Sedangkan taqlid menurut istilah ada beberapa rumusan, antara lain:
  • Taqlid ialah beramal berdasarkan pendapat orang lain yang pendapatnya itu tidak merupakan salah satu dalil yang dibenarkan, dan ini dilakukan tanpa berdasarkan dalil. Demikian menurut al-Kamal ibn al-hammam dalam at-Tahrir.
  • Menerima pendapat orang lain dalam kondisi anda tidak mengetahui dari mana orang itu berpendapat. Demikian menurut al-Qaffal.
  •  Beramal berdasarkan pendapat orang lain tanpa berdasarkan dalil. Demukian menurut al-Syaukany dalam Irsyad al-Fukhul.
B. Hukum Taqlid
1. Taqlid yang haram
Ulama sepakat haram melakukan taqlid ini. Taqlid ini ada tiga macam :
  • Taqlid semata-mata mengikuti adat kebiasaan atau pendapat nenek moyang atau orang dahulu kala yang bertentangan dengan al Qur`an Hadits.
  • Taqlid kepada orang atau sesuatu yang tidak diketahui kemampuan dan keahliannya, seperti orang yang menyembah berhala, tetapi ia tidak mengetahui kemampuan, keahlian, atau kekuatan berhala tersebut.
  • Taqlid kepada perkataan atau pendapat seseorang, sedangkan yang bertaqlid mengetahui bahwa perkataan atau pendapat itu salah.
2. Taqlid yang dibolehkan
Dibolehkan bertaqlid kepada seorang mujtahid atau beberapa orang mujtahid dalam hal yang belum ia ketahui hukum Allah dan RasulNya yang berhubungan dengan persoalan atau peristiwa, dengan syarat yang bersangkutan harus selalu berusaha menyelidiki kebenaran masalah yang diikuti itu.Jadi sifatnya sementara.
Misalnya taqlid sebagian mujtahid kepada mujtahid lain, karena tidak ditemukan dalil yang kuat untuk pemecahan suatu persoalan.
Termasuk taqlidnya orang awam kepada ulama.
Ulama muta akhirin dalam kaitan bertaqlid kepada imam, membagi kelompok masyarakat kedalam dua golongan:
  • Golongan awan atau orang yang berpendidikan wajib bertaqlid kepada salah satu pendapat dari keempat madzhab.
  •  Golongan yang memenuhi syarat-syarat berijtihad, sehingga tidak dibenarkan bertaqlid kepada ulama-ulama.
Golongan awam harus mengikuti pendapat seseorang tanpa mengetahui sama sekali dasar pendapat itu (taqlid dalam pengertian bahasa).
3. Taqlid yang diwajibkan
Wajib bertaqlid kepada orang yang perkataannya dijadikan sebagai dasar hujjah, yaitu perkataan dan perbuatan Rasulullah SAW.
C. Pendapat Imam Madzhab tentang Taqlid[2]
  • Imam Abu Hanifah (80-150 H)
Beliau merupakan cikal bakal ulama fiqh. Beliau mengharamkan orang mengikuti fatwa jika orang itu tidak mengetahui dalil dari fatwa itu.
  • Imam Malik bin Anas (93-179 H)
Beliau melarang seseorang bertaqlid kepada seseorang walaupun orang itu adalah orang terpandang atau mempunyai kelebihan.
Setiap perkataan atau pendapat yang sampai kepada kita harus diteliti lebih dahulu sebelum diamalkan.
  • Imam asy Syafi`i (150-204 H)
Beliau murid Imam Malik. Beliau mengatakan bahwa “ beliau akan meninggalkan pendapatnya pada setiap saat ia mengetahui bahwa pendapatnya itu tidak sesuai dengan hadits Nabi SAW.
  • Imam Hambali (164-241 H)
Beliau melarang bertaqlid kepada imam manapun, dan menyuruh orang agar mengikuti semua yang berasal dari Nabi SAW dan para sahabatnya. Sedang yang berasal dari tabi`in dan orang-orang sesudahnya agar diselidiki lebih dahulu. Mana yang benar diikuti dan mana yang salah ditinggalkan.
D. PEMBAGIAN TAQLID[3]
Adapun pembagian taqlid serta penjelasan hukum setiap bagian itu adalah sebagai berikut
1. Taqlid orang yang memiliki kemampuan berijtihad kepada seorang ulama setelah tampak pada dirinya kebenaran berdasarkan dalil-dalil yang ada dari Nabi saw, maka dalam hal ini tidak diperbolehkan baginya untuk bertaqlid kepada orang yang bertentangan dengan apa yang telah didapatnya itu (berupa kebenaran) berdasarkan ijma’ ulama.
2. Taqlid orang yang telah memenuhi kemampuan berijtihad kepada seorang mujtahid lain sebelum dirinya mendapatkan hukum syar’i melalui ijtihadnya maka diperbolehkan baginya untuk bertaqlid dengan mujtahdi lainnya, sebagaimana dikatakan Syafi’i, Ahmad dan sekelompok ulama dan ini pendapat yang paling tepat dikarenakan dirinya memiliki kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’i maka dirinya dibebankan untuk melakukan ijtihad untuk mengetahui hukum syar’i didalam permasalahan itu berdasarkan firman-Nya :
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya : “Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu.” (QS. At Taghabun : 16)
Serta hadits Rasulullah saw,”Apabila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka lakukanlah sesuai kesanggupan kalian.”
3. Taqlid seorang yang tidak memiliki kemampuan untuk menelaah dalil-dalil dan mengeluarkan hukum-hukum darinya kepada seorang yang alim yang telah memenuhi kemampuan ijtihd terhadap dalil-dalil syar’i maka ini diperbolehkan, berdasarkan firman Allah swt :
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا

Artinya : “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al Baqoroh : 286)

Artinya : “Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui.” (QS. Al Anbiya : 7)
Serta dalil-dalil lainnya yang sejenis yang menujukkan bahwa telah diangkat kesulitan serta untuk melindungi seorang mukallaf dari jatuh kedalam hukum-hukum lalu mengatakan sesuatu tentang Allah yang tidak berdasarkan ilmu.
4. Taqlid kepada orang-orang yang menentang syariat islam, seperti nenek moyang, tuan-tuan, pemimpin-pemimpin ashobiyah atau mengikuti hawa nafsu maka taqlid yang seperti ini adalah diaharamkan menurut ijma’ ulama. Kecaman terhadap hal ini banyak terdapat didalam .


[1] Drs.Muhammad Ma’shum Zainy al-hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqih (Jombang :DARUL HIKMAH JOMBANG,2008)
[2] Drs.Rahmad Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih(Bandung : CV PUSTAKA SETIA, 1999)

[3] Drs.Beni Ahmad Saebani,Ilmu Ushul Fiqih(Bandung : CV PUSTAKA SETIA,2008)